Sabtu, 16 Maret 2013

Ketika Kerajaan Samudera Pasai Menaklukkan Kerajaan Majapahit

Para ahli sejarah mungkin akan menolak pernyataan ini, karena dalam sejarah tidak pernah terjadi sebuah Kerajaan Islam di Acheh menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit yang terkenal kemegahan dan kebesarannya itu. Bahkan dalam sejarah, sebagaimana disebutkan ”Kronika Pasai”, bahwa Kerajaan Majapahitlah, dibawah Mahapatih Gadjah Mada yang telah menaklukkan Kerajaan Pasai. Namun jika kita lebih teliti dan jeli, maka akan terungkap sebuah sejarah yang selama ini ditutupi dengan rapi oleh para penjajah dan antek-anteknya untuk mengecilkan peran Kerajaan-Kerajaan Islam di Acheh dalam proses Islamisasi di Nusantara.



Fakta yang akan mengungkap bahwa Kerajaan Islam Pasai-Acheh telah berhasil menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit adalah dengan meneliti dan mengungkap dari mana asal sebenarnya ”Puteri Champa” yang menjadi istri Raden Prabu Barawijaya V, Raja terakhir Kerajaan Hindu Majapahit, yang telah melahirkan Raden Fatah, Sultan pertama Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama yang mengakhiri riwayat Kerajaan-Kerajaan Hindu di Jawa.

Banyak ahli sejarah Islam Nusantara yang masih konfius dengan keberadaan Kerajaan ”Champa”, negeri asal ”Puteri Penakluk Kerajaan Jawa-Hindu” yang dianggap memiliki peran penting dan sentral dalam proses Islamisasi Nusantara pada tahap awal, terutama antara kurun abad 13 sampai 15 Masehi. Sehubungan dengan keberadaan ”Champa”, ada dua teori yang beredar. Pertama teori yang didukung oleh para peneliti Belanda, seperti Snouck dan lain-lainnya yang beranggapan bahwa Champa berada di sekitar wilayah Kambodia-Vietnam sekarang. Dengan teorinya ini kemudian mereka menyatakan bahwa Wali Songo yang berperan dalam proses Islamisasi Jawa, menjadikan daerah ini sebagai basis perjuangan Islamisasi Nusantara dengan mengenyampingkan sama sekali peranan Perlak, Pasai dan beberapa Kerajaan di sekitar Acheh dalam Islamisasi Nusantara.

Tentu karena mereka beranggapan bahwa Champa Kambodia-Vietnam adalah wilayah Muslim dan pusat Islam yang jauh lebih maju dan berperadaban dibandingkan dengan beberapa wilayah di Acheh tersebut. Dan anehnya, teori inilah yang sangat populer dan menjadi rujukan para cendekiawan Muslim tanpa mengkritisinya lebih jauh. Namun ada teori lain tentang Champa ini.

Teori yang akan dikemukakan ini, utamanya berdasarkan teori dari Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, Sir TS. Raffles dalam bukunya The History of Java. Teori Raffles menyebutkan bahwa Champa yang terkenal di Nusantara, bukan terletak di Kambodia sekarang sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda. Tapi Champa adalah nama daerah di sebuah wilayah di Acheh, yang terkenal dengan nama ”Jeumpa”. Champa adalah ucapan atau logat Jeumpa dengan dialek ”Jawa”, karena penyebutannya inilah banyak ahli yang keliru dan mengasosiasikannya dengan Kerajaan Champa di wilayah Kambodia dan Vietnam sekarang. Jeumpa yang dinyatakan Raffles sekarang berada di sekitar daerah Kabupaten Bireuen Acheh. [60]

”Putri Champa” biasanya dihubungkan dengan istri Prabu Brawijaya V yang dalam Babad Tanah Jawi, disebutkan bernama Anarawati (Dwarawati) yang beragama Islam. Puteri inilah yang melahirkan Raden Fatah, yang kemudian menyerahkan pendididikan putranya kepada seorang keponakannya yang dikenal dengan Sunan Ampel (Raden Rahmat) di Ampeldenta Surabaya. Sejarah mencatat, Raden Fatah menjadi Sultan pertama dari Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri sejarah kegemilangan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.[61]

”Sang Putri Penakluk” ini adalah wanita luar biasa. Dia adalah seorang ibu yang tabah, besar hati, penyayang namun mewarisi semangat perjuangan yang tidak kalah dengan Laksamana Malahayati, Tjut Nya’ Dhien, Tjut Mutia dan para wanita pejuang agung Acheh lainnya. Bagaimana tidak, dia harus berpisah jauh dari lingkungannya ke tanah Jawa yang asing baginya, tiada handai tolan, hidup dilingkungan masyarakat Jawa-Hindu yang berbeda budaya dan tradisi dengan negeri asalnya, bahkan ada yang menyatakan suaminyapun masih beragama Hindu dalam tradisi Kerajaan Majapahit yang feodalis. Namun karena para Ulama-Pejuang sekelas Maulana Malik Ibrahim atas dukungan para Sultan Muslim menugaskannya berdakwah dengan caranya, wanita agung inipun ikhlas melakoni peran perjuangannya.

Dengan takdir Allah, beliau melahirkan seorang anak laki-laki yang kelak dikenal dengan Raden Fatah. Demi kelanjutan agamanya, dia rela meninggalkan kegemerlapan istana Majapahit sebagai permaisuri agung untuk memastikan putranya dapat pendidikan terbaik agar menjadi seorang pemimpin Islam di Jawa. Raden Fatah kecil mendapat kasih sayang serta bimbingan ibundanya bersama para Wali yang dipimpin sepupunya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang juga dilahirkan di Kerajaan asal ibunya........
Dari negeri manakah gerangan ”Sang Puteri Penakluk” yang telah sukses gemilang menjalankan tugas agamanya, sebagai seorang ibu pendidik agung (madrasat al-kubra), pejuang suci (mujahidah fi sabilillah), pendakwah Islam (da’i) sekaligus sebagai penyebab (asbab) keruntuhan sebuah dinasti Hindu terbesar yang menjadi lambang keagungan dan kebesaran bangsa Jawa, dengan Mahapatih sadis Gadjah Mada itu.

Tradisi dan peradaban masyarakat model apakah yang telah menjadikannya sebagai seorang wanita pejuang yang rela mengorbankan diri, perasaan dan kemerdekaannya demi kejayaan Islam agamanya. Pendidikan apakah yang diterimanya sehingga berani menerjang medan laga menghadapi benteng super power Majapahit. Dari sisi manapun kita nilai, wanita ini adalah wanita besar, namun terhijab peran agungnya oleh wanita selir Jawa sekelas RA. Kartini, seorang selir Bupati Rembang yang dijadikan tokoh wanita hanya karena bisa bahasa penjajah Belanda dan dekat dengan penjajah kaphe. Siapa Kartini jika disandingkan dengan Ratu Tajul Alam Syafiatuddin, Sultanah Acheh yang memimpin masyarakat kosmopilit Acheh masa itu dan memiliki kekuasaan seluruh Sumatra dan Semenjang Melayu?

Untuk memastikan dimanakah negeri Champa yang telah ditinggali Maulana Malik Ibrahim dan asal saudara iparnya ”Putri Champa Penakluk Majapahit”, maka perlu diselidiki bagaimanakah keadaan Champa waktu itu, baik yang berada di Acheh maupun Kambodia.

Para ahli sejarah memperkirakan Maulana Malik Ibrahim berada Champa sekitar 13 tahun, antara tahun 1379 sampai dengan 1392.[62] Champa di Kambodia masa itu sedang di perintah oleh Chế Bồng Nga antara tahun 1360-1390 Masehi, dikenal dengan The Red King (Raja Merah) seorang Raja terkuat dan terakhir Champa. Tidak diketahui apakah Raja ini Muslim, atau memang Budha sebagaimana mayoritas penduduk Kambodia sampai sekarang dengan banyak peninggalan kuil-kuilnya namun tidak ada masjid. Beliau berhasil menyatukan dan mengkordinasikan seluruh kekuatan Champa pada kekuasaannya, dan pada tahun 1372 menyerang Vietnam melalui jalur laut. Champa berhasil memasuki kota besar Hanoi pada 1372 dan 1377.

Pada penyerangan terakhir tahun 1388, dia dikalahkan oleh Jenderal Vietnam Ho Quy Ly, pendiri Dinasti Ho. Che Bong Nga meninggal dua tahun kemudian pada 1390. Tidak banyak catatan hubungan Penguasa Champa ini dengan Islam, apalagi tidak didapat bekas-bekas kegemilangan Islam, sebagaimana yang ditinggalkan para pendakwah di Perlak, Pasai ataupun Malaka.[63]
Sementara catatan sejarah menyatakan lain, yang terkenal dengan Sultan Cam atau Champa adalah Wan Abdullah atau Sultan Umdatuddin atau Wan Abu atau Wan Bo Teri Teri atau Wan Bo saja, memerintah pada tahun 1471 M - 1478 M.

Menurut silsilah Kerajaan Kelantan Malaysia, silsilah beliau adalah : Sultan Abu Abdullah (Wan Bo) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni Ahmad Syah Jalal ibni Abdullah ibni Abdul Malik ibni Alawi Amal Al-Faqih ibni Muhammas Syahib Mirbath ibni ‘Ali Khali’ Qasam ibni Alawi ibni Muhammad ibni Alawi ibni Al-Syeikh Ubaidillah ibni Ahmad Muhajirullah ibni ‘Isa Al-Rumi ibni Muhammad Naqib ibni ‘Ali Al-Uraidhi ibni Jaafar As-Sadiq ibni Muhammad Al-Baqir ibni ‘Ali Zainal Abidin ibni Al-Hussein ibni Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah SAW.

Jadi Raja Cham ini adalah anak saudara dari Maulana Malik Ibrahim, yaitu anak dari adik beliau bernama Ali Nurul Alam, dari ibu keturunan Patani-Senggora di Thailand sekarang. Wan Bo atau Wan Abdullah ini juga adalah bapak kepada Syarief Hidayatullah, pengasas Sultan Banten sebagaimana silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Banten Jawa Barat: Syarif Hidayatullah ibni Abdullah (Umdatuddin) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Hussein (Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni Ahmad Syah Jalal dan seterusnya seperti di atas.[64]

Dimana sebenarnya Kerajaan Champa yang dipimpin oleh Raja Champa yang menjadi mertua Maulana Malik Ibrahim, yang menjadi ayah kandung ”Puteri Champa”. Padahal jika dikaitkan dengan fakta di atas, mustahil mertua Maulana Malik atau ayah ”Puteri Champa” itu adalah Wan Bo (Wan Abdullah) karena menurut silsilah dan tahun kelahirannya, beliau adalah pantaran anak saudara Maulana Malik yang keduanya terpaut usia 50 tahun lebih. Raden Rahmat (Sunan Ampel) sendiri lahir pada tahun 1401 di ”Champa” yang masih misterius itu. Boleh jadi yang dimaksud dengan Kerajaan Champa tersebut bukan Kerajaan Champa yang dikuasai Dinasti Ho Vietnam, tapi sebuah perkampungan kecil yang berdekatan dengan Kelantan?.

Inipun masih menimbulkan tanda tanya, dimanakah peninggalannya?. Bahkan ada pula yang mengatakan Champa berdekatan dengan daerah Fatani, Selatan Thailand berdekatan dengan Songkla, yang merujuk daerah Senggora zaman dahulu.[65]

Martin Van Bruinessen telah memetik tulisan Saiyid ‘Al-wi Thahir al-Haddad, dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren ..“Putra Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudara-saudaranya konon telah mengembara ke Asia Tenggara..... Jamaluddin sendiri pertamanya menjejakkan kakinya ke Kemboja dan Acheh, kemudian belayar ke Semarang dan menghabiskan waktu bertahun-tahun di Jawa, hingga akhirnya melanjutkan pengembaraannya ke Pulau Bugis, di mana dia meninggal.” (al-Haddad 1403 :8-11). Diriwayatkan pula beliau menyebarkan Islam ke Indonesia bersama rombongan kaum kerabatnya. Anaknya, Saiyid Ibrahim (Maulana Malik Ibrahim) ditinggalkan di Acheh untuk mendidik masyarakat dalam ilmu keislaman. Kemudian, Saiyid Jamaluddin ke Majapahit, selanjutnya ke negeri Bugis, lalu meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan). Tahun kedatangannya di Sulawesi adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453M”.

Jadi tidak diragukan bahwa yang ke Kamboja itu adalah ayah Maulana Malik Ibrahim, Saiyid Jamaluddin yang menikah di sana dan menurunkan Ali Nurul Alam. Sedangkan mayoritas ahli sejarah menyatakan Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand atau Persia, sehingga di gelar Syekh Maghribi. Beliau sendiri dibesarkan di Acheh dan tentu menikah dengan puteri Acheh yang dikenal sebagai ”Puteri Raja Champa”, yang melahirkan Raden Rahmat (Sunan Ampel).

Lagi pula keadaan Champa Kambodia sezaman Maulana Malik Ibrahim sedang huru hara dan terjadi pembantaian terhadap kaum Muslim yang dilakukan oleh Dinasti Ho yang membalas dendam atas kekalahannya pada pasukan Khulubay Khan, Raja Mongol yang Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu. Keadaan ini sangat jauh berbeda dengan keadaan Jeumpa yang menjadi mitra Kerajaan Pasai pada waktu itu yang menjadi jalur laluan dan peristirahatan menuju kota besar seperti Barus, Fansur dan Lamuri dari Pasai ataupun Perlak. Kerajaan Pasai adalah pusat pengembangan dan dakwah Islam yang memiliki banyak ulama dan maulana dari seluruh penjuru dunia.

Sementara para sultan adalah diantara yang sangat gemar berbahas tentang masalah-masalah agama, di istananya berkumpul sejumlah ulama besar dari Persia, India, Arab dan lain-lain, sementara mereka mendapat penghormatan mulia dan tinggi.[66] Dan Sejarah Melayu menyebutkan bahwa ”segala orang Samudra (Pasai) pada zaman itu semuanya tahu bahasa Arab.[67]
Populeritas Jeumpa (Acheh) di Nusantara, yang dihubungkan dengan puteri-puterinya yang cerdas dan cantik jelita, buah persilangan antara Arab-Parsi-India dan Melayu, yang di Acheh sendiri sampai saat ini terkenal dengan Buengong Jeumpa, gadis cantik putih kemerah-merahan, tidak lain menunjukkan keistimewaan Jeumpa di Acheh yang masih menyisakan kecantikan puteri-puterinya di sekitar Bireuen.

Pada masa kegemilangan Pasai, istilah puteri Jeumpa (lidah Jawa menyebut ”Champa”) sangat populer, mengingat sebelumnya ada beberapa Puteri Jeumpa yang sudah terkenal kecantikan dan kecerdasannya, seperti Puteri Manyang Seuludong, Permaisuri Raja Jeumpa Salman al-Parisi, Ibunda kepada Syahri Nuwi pendiri kota Perlak. Puteri Jeumpa lainnya, Puteri Makhdum Tansyuri (Puteri Pengeran Salman-Manyang Seuludong/Adik Syahri Nuwi) yang menikah dengan kepala rombongan Khalifah yang dibawa Nakhoda, Maulana Ali bin Muhammad din Ja’far Shadik, yang melahirkan Maulana Abdul Aziz Syah, Raja pertama Kerajaan Islam Perlak.

Mereka seterusnya menurunkan Raja dan bangsawan Perlak, Pasai sampai Acheh Darussalam. Demikian pula keturunan Syahri Nuwi dari Sultan Perlak bergelar Makhdum juga disebut sebagai Putri Jeumpa, karena beliau lahir di Jeumpa. Kecantikan dan kecerdasan puteri-puteri Jeumpa sudah menjadi legenda di antara pembesar-pembesar istana Perlak, Pasai, Malaka, bahkan sampai ke Jawa. Itulah sebabnya kenapa Maharaja Majapahit, Barawijaya V sangat mengidam-idamkan seorang permaisuri dari Jeumpa. Bahkan dalam Babat Tanah Jawi, disebutkan bagaimana mabok kepayangnya sang Prabu ketika bertemu dengan Puteri Jeumpa yang datang bersama dengan rombongan Maulana Malik Ibrahim dan para petinggi Pasai.

Secara umum, wajah orang Champa Kambodia lebih mirip dengan Cina, kecil-kecil dan memiliki kulit seperti orang Kelantan sekarang, sementara bahasanya susah dimengerti karena dialeknya berbeda dengan rumpun bahasa Melayu yang menjadi bahasa pertuturan dan pengantar Nusantara saat itu. Muka-muka Arab, seperti wajah Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmat ataupun gelar mereka, Sayyid, Maulana, dan lainnya jarang adanya dan tidak seperti rata-rata orang Perlak, Pasai, Jeumpa ataupun umumnya orang Acheh yang lebih mirip ke wajah Arab, India atau Parsia. Sebagaimana diketahui, Maulana Malik Ibrahim dan Raden Rahmat memberikan pelajaran agama kepada orang Jawa menggunakan bahasa Melayu Sumatera yang banyak digunakan di sekitar Perlak, Pasai, Lamuri, Barus, Malaka, Riau-Lingga dan sekitarnya, sebagaimana dalam manuskrip agama yang dikarang para Ulama terkemudian seperti terjemahan karya Abu Ishaq, kitab-kitab Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, Raja Ali Haji dan lainnya.

Dari segi geografis dan taktik-strategi perjuangan, kelihatannya mustahil para pendakwah, khususnya gerakan Para Wali yang akan menaklukkan pulau Jawa bermarkas di sebuah perkampungan Muslim minoritas dekat Vietnam. Apalagi pada masa itu Champa sepeninggal Raja terakhirnya, Che Bong Nga (w.1390), sepenuhnya dikuasai Dinasti Ho yang Budha dan anti Islam berpusat di Hanoi. Maulana Malik Ibrahim adalah Grand Master para Wali Songo, jika sasaran dakwahnya adalah pulau Jawa, sebagai basis kerajaan Hindu-Budha yang tersisa, terlalu naif memilih Champa sebagai markas pusat pergerakan baik menyangkut dukungan logistik, politik maupun ketentaraan. Sebagaimana dicatat sejarah, pada masa itu para Sultan dan Ulama, baik yang ada di Arab, Persia, India termasuk Cina yang sudah dipegang penguasa Islam memfokuskan penaklukkan kerajaan besar Majapahit sebagai patron terbesar Hindu-Budha Nusantara.

Kaisar Cina yang sudah Muslimpun mengirim Panglima Besar dan tangan kanan dan kepercayaannya, Laksamana Cheng-Ho untuk membantu gerakan Islamisasi Jawa. Sementara hubungan dakwah via laut pada saat itu sudah terjalin jelas menunjukkan hubungan antara Jawa-Pasai-Gujarat-Persia-Muscat-Aden sampai Mesir, yang diistilahkan Azra sebagai Jaringan Ulama Nusantara. Yang artinya, wilayah Acheh Jeumpa lebih mungkin berada di sekitar pusat gerakan dan lintasan jaringan tersebut daripada Champa Kambodia. Adalah hal yang mustahil, seorang Wali sekelas Maulana Malik Ibrahim, bapak dan pemimpin para Wali di Jawa, yang telah berhasil membangun jaringan di Nusantara, setelah 13 tahun di Champa tidak dapat membangun sebuah kerajaan Islam atau meninggalkan jejak-jejak kegemilangan peradaban Islam, atau hanya sebuah prarasti seperti pesantren, maqam atau sejenisnya yang akan menjadi jejaknya. Bahkan Raffles menyebutnya sebagai orang besar, sementara sejarawan G.W.J.

Drewes menegaskan, Maulana Malik Ibrahim adalah tokoh yang pertama-tama dipandang sebagai wali di antara para wali. ''Ia seorang mubalig paling awal,'' tulis Drewes dalam bukunya, New Light on the Coming of Islam in Indonesia. Gelar Syekh dan Maulana, yang melekat di depan nama Malik Ibrahim, menurut sejarawan Hoessein Djajadiningrat, membuktikan bahwa ia ulama besar. Gelar tersebut hanya diperuntukkan bagi tokoh muslim yang punya derajat tinggi.

Maulana Malik Ibrahim memiliki seorang saudara yang terkenal sebagai ulama besar di Pasai, bernama Maulana Saiyid Ishaq, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Menurut cacatan sejarah, beliau adalah salah seorang ulama yang dihormati di kalangan istana Pasai dan menjadi penasihat Sultan Pasai di zaman Sultan Zainal Abidin dan Sultan Salahuddin. Sebelum bertolak ke tanah Jawa, ayahanda beliau, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), yang juga datang dari Persia atau Samarqan, tinggal dan menetap juga di Pasai. Jadi menurut analisis, beliau bertiga datang dari Persia atau Samarqan ke Kerajaan Pasai sebagai pusat penyebaran dakwah Islam di Nusantara, pada sekitar abad ke 13 Masehi, bersamaan dengan kejayaan Kerajaan Pasai di bawah para Sultan keturunan Malik al-Salih, yang juga keturunan Ahlul Bayt. Sementara Sunan Ampel atau Raden Rahmat yang dikatakan lahir di Champa, kemudian hijrah pada tahun 1443 M ke Jawa dan mendirikan Pesantren di Ampeldenta Surabaya, adalah seorang ulama besar, yang tentunya mendapatkan pendidikan yang memadai dalam lingkungan Islami pula.

Adalah mustahil bagi Sang Raden untuk mendapatkan pendidikannya di Champa Kambodia pada tahun-tahun itu, karena sejak tahun 1390 M atau sepuluh tahun sebelum kelahiran beliau, sampai dengan abad ke 16, Kambodia dibawah kekuasaan Dinasti Ho yang Budha dan anti Islam sebagaimana dijelaskan terdahulu. Apalagi sampai saat ini belum di dapat jejak lembaga pendidikan para ulama di Champa. Namun keadaannya berbeda dengan Jeumpa Acheh, yang dikelilingi oleh Bandar-Bandar besar tempat pesinggahan para Ulam dunia pada zaman itu. Perlu digarisbawahi, kegemilangan Islam di sekitar Pasai, Malaka, Lamuri, Fatani dan sekitarnya adalah antara abad 13 sampai abad 14 M. Kawasan ini menjadi pusat pendidikan dan pengembangan pengetahuan Islam sebagaimana digambarkan terdahulu.

Dengan demikian, maka jelaslah bahwa ”Champa” yang dimaksud dalam sejarah pengembangan Islam Nusantara selama ini, yang menjadi tempat persinggahan dan perjuangan awal Maulana Malik Ibrahim, asal ”Puteri Champa” atau asal kelahiran Raden Rahmat (Sunan Ampel), bukanlah Champa yang ada di Kambodia-Vietnam saat ini. Tapi tidak diragukan, sebagaimana dinyatakan Raffles, ”Champa” berada di Jeumpa Acheh dengan kota perdagangan Bireuen, yang menjadi bandar pelabuhan persinggahan dan laluan kota-kota metropolis zaman itu seperti Fansur, Barus dan Lamuri di ujung barat pulau Sumatra dengan wilayah Samudra Pasai ataupun Perlak di daerah sebelah timur yang tumbuh makmur dan maju.

Jika Jeumpa Acheh menjadi asal dari Puteri yang menjadi Permaisuri Maha Prabu Brawijaya V, yang telah melahirkan Raden Fatah, Sultan pertama Kerajaan Islam Demak, kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Jika Jeumpa Acheh adalah tempat dilahirkan dan dibesarkannya Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang telah mendidik para pejuang dan pendakwah Islam di Tanah Jawa yang berhasil meruntuhkan dominasi kerajaan-kerajaan Hindu. Jika Jeumpa Acheh adalah tempat persinggahan dan kediaman Maulana Malik Ibrahim, sang Grand Master gerakan Wali Songo yang berperan dalam pengembangan Islam dan melahirkan para Ulama di tanah Jawa. Jika Jeumpa Acheh adalah daerah yang menjadi bagian dari Kerajaan Pasai yang telah melahirkan banyak Ulama dan pendakwah di Nusantara. Maka tidak diragukan, secara tersirat bahwa Jeumpa dan tentunya Pasai memiliki peran besar proses penaklukan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit.

Dan Kerajaan Pasai, sebagai pusat Islamisasi Nusantara, sangat berkepentingan untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit, karena ia adalah satu-satunya penghalang utama untuk pengislaman tanah Jawa. Maka para Sultan dan para Ulama serta cerdik pandai Kerajaan Pasai telah menyusun strategi terus menerus dengan segala jaringannya untuk menaklukkan Kerajaan Jawa-Hindu ini. Bahkan Kekaisaran Cinapun yang telah dikuasai Muslim ikut andil dalam Islamisasi ini, terbukti dengan mengirimkan Penglima Besar dan kepercayaan Kaisar yang bernama Laksamana Cheng Ho. Jalan peperangan tidak mungkin ditempuh, mengingat jauhnya jarak antara Pasai dengan Jawa Timur sebagai pusat Kerajaan Majapahit.

Maka ditempuhlan jalan diplomasi dan dakwah para duta dari Kerajaan Pasai.
Rupanya para Grand Master terutama Maulana Malik Ibrahim sebagai utusan senior para pendakwah, menemukan sebuah cara yang dianggap bijak, yaitu melalui jalur perkawinan. Maka dikawinkanlah iparnya yang bernama Dwarawati atau Puteri Jeumpa yang cantik jelita dan cerdas tentunya, dengan Prabu Brawijaya V, yang konon masih memeluk Hindu. Kenapa Sang Bapak Para Wali Songo ini berani mengambil kebijakan itu. Tentu hanya Allah dan beliau yang tahu. Dan akhirnya sejarah kemudian mencatat, anak perkawinan Puteri Jeumpa Dwarawati dengan Prabu Brawijaya V, bernama Raden Fatah adalah Sultan Kerajaan Islam Demak pertama yang telah mengakhiri dominasi Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dan Kerajaan-Kerajaan Hindu lainnya.

Mungkin pertimbangan Maulana Malik Ibrahim menikahkan iparnya Puteri Jeumpa berdasarkan ijtihad beliau setelah mengadakan penelitian panjang terhadap tradisi dan budaya orang Jawa yang sangat menghormati dan patuh bongkokan kepada Raja atau Pangeran yang selama ini dianggap sebagai titisan para Dewata, sebagaimana cerita-cerita pewayangan di Jawa. Jika ada seorang Raja atau Pangeran yang masuk Islam, maka akan mudah bagi perkembangan Islam. Karena Jawa adalah salah satu daerah yang sangat sulit diislamkan sampai saat itu, mengingat kuatnya dominasi Kerajaan Hindu Majapahit. Itulah sebabnya, ketika Puteri Jeumpa telah hamil, dia ditarik dari istana Majapahit, dihijrahkan ke wilayah Islam lainnya, kabarnya ke Kerajaan Melayu Palembang.

Setelah lahir anaknya, Raden Fatah, Puteri Jeumpa kembali ke Jawa Timur, tapi bukan ke istana Majapahit, tapi ke Ampeldenta Surabaya, ke tempat anak saudaranya Raden Rahmat (Sunan Ampel) untuk mendidik Raden Fatah agar menjadi pemimpin Islam. Setelah dewasa, karena masih Raden Pangeran Majapahit, maka Raden Fatah berhak mendapat jabatan, dan beliau diangkat sebagai seorang Bupati di sekitar Demak. Saat itulah para Wali Songo yang sudah mapan mendeklarasikan sebuah Kerajaan Islam Demak, di Bintaro Demak, sebagai Kerajaan Islam pertama di Jawa. Karena Raden Fatah adalah titisan Raja Majapahit, maka orang-orang Jawapun dengan cepat mengikuti agamanya dan membela perjuangannya sebagaimana dicatat sejarah dalam buku Babat Tanah Jawi.

Jadi prestasi terbesar Kerajaan Pasai adalah keberhasilannya mengembangkan Kerajaannya sebagai pusat Islamisasi Nusantara, terutama keberhasilannya mengislamisasikan pulau Jawa yang telah coba dilakukan berabad-abad oleh para pendakwah dan pejuang Islam. Namun sayang fakta sejarah ini selalu ditutup-tutupi oleh para penjajah Belanda dan antek-anteknya di Jawa. Bahkan sebagian orang-orang Jawa tidak pernah menganggap bahwa para Wali Songo adalah alumni perguruan tinggi Islam yang sudah berkembang pesat di Acheh, baik di sekitar Pasai, Perlak, Jeumpa, Barus, Fansur dan lain-lainnya yang selanjutnya akan dibuktikan dengan tampilnya ulama-ulama besar dan berpengaruh di Nusantara asal Acheh seperti Hamzah Fansuri, Samsuddin al-Sumatrani, Maulana Syiah Kuala, Nuruddin al-Raniri dan lain-lainnya.

Sejarah berdirinya Kerajaan Samudera Pasai

Kapan sebenarnya Kerajaan Islam Samudera Pasai berdiri tidak ada suatu kepastian tahun yang didapat. Para peminat dan ahli sejarah masih belum bisa memperoleh suatu kesepakatan mengenai hal ini. Menurut tradisi dan berdasarkan penyelidikan atas beberapa sumber sementara , terutama yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat khususnya para sarjana Belanda sebelum perang seperti Snouck Hurgronye, J.P. Moquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan lain-lain, menyebutkan, bahwa Kerajaan Islam Samudera Pasai baru berdiri pada pertengahan abad ke XIII. Dan sebagai pendiri kerajaan ini adalah Sultan Malik As Salih yang meninggal pada tahun 1297.



Selain pendapat yang dikemukakan oleh para sarjana Belanda itu, baik dalam seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung di Medan sejak tanggal 17 s/d 20 Maret 1963, maupun dalam seminar Masuk dan Berkembangnya Islam di Daerah Istimewa Aceh yang berlangsung di Banda Aceh pada tanggal 10 s/d 16 Juli 1978, oleh beberapa sejarawan dan cendikiawan Indonesia (diantaranya Prof. Hamka, Prof. A.Hasjmy, Prof. H.Aboe Bakar Atjeh, H. Mohammad Said dan M.D. Mansoer) yang ikut serta dalam kedua seminar tersebut telah pula melontarkan beberapa pendapat dan dalil-dalil baru yang berbeda dengan yang lazim dikemukakan oleh para sarjana Belanda seperti tersebut di atas.

Berdasarkan beberapa petunjuk dan sumber-sumber baru yang mereka kemukakan diantaranya keterangan-keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara dan dua buah naskah lokal yang diketemukan di Aceh yaitu, “Idhahul Hak Fi Mamlakatil Peureula” karya Abu Ishak Al Makarany dan Tawarich Raja-raja Kerajaan Aceh ,mereka berkesimpulan bahwa Kerajaan Islam Samudera Pasai sudah berdiri sejak abad ke XI M, atau tepatnya pada tahun 433 H (1042 M). Dan sebagai pendiri serta sultan yang pertama dari kerajaan ini adalah Maharaja Mahmud Syah, yang memerintah pada tahun 433-470 H atau bertepatan dengan tahun 1042-1078 M.

Atas dasar peninggalan-peninggalan dan penemuan-penemuan dari hasil penggalian dan yang dilakukan oleh Dinas Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, dapat diketahui bahwa lokasi kerajaan ini di daerah yang dewasa ini dikenal dengan nama Pasai. Yaitu suatu daerah di pantai Timur Laut Pulau Sumatera yang terletak antara dearah Peusangan dengan Sungai Jambo Aye di kabupaten Aceh Utara, Propinsi Daerah Istimewa Aceh. G.P. Rouffaer, salah seorang sarjana Belanda yang menyelidiki tentang kerajaan ini menyatakan bahwa Pasai mula-mula terletak di sebelah kanan Sungai Pasai, sedangkan Samudera berada di sebelah kirinya, tetapi lama kelamaan Samudera dan Pasai ini menjadi satu dan disebut Kerajaan Samudera Pasai

Menurut berita-berita luar yang juga diceritakan dalam Hikayat Raja-raja Pasai kerajaan ini letaknya di kawasan Selat Melaka pada jalur hubungan laut yang ramai antara dunia Arab, India dan Cina. Disebutkan pula bahwa kerajaan ini pada abad ke XIII sudah terkenal sebagai pusat perdagangan di kawasan itu.

Nama Samudera dan Pasai sudah populer disebut-sebut baik oleh sumber-sumber Cina, Arab dan Barat maupun oleh sumber-sumber dalam negeri seperti Negara Kertagama (karya Mpu Prapanca, 1365) pada abad ke XIII dan ke XIV M. Dan tentang asal usul nama kerajaan ini ada berbagai pendapat. Menurut J.L. Moens, kata Pasai berasal dari istilah Parsi yang diucapkan menurut logat setempat sebagai Pa’Se. Dengan catatan bahwa sudah semenjak abad ke VII M, saudagar-saudagar bangsa Arab dan Parsi sudah datang berdagang dan berkediaman di daerah yang kemudian terkenal sebagai Kerajaan Islam Samudera Pasai . Pendapat ini adalah sesuai dengan apa yang telah dikemukakan oleh Prof. Gabriel Ferrand dalam karyanya (L’Empire, 1922, hal.52-162), dan pendapat Prof. Paul Wheatley dalam (The Golden Khersonese, 1961, hal.216), yang didasarkan pada keterangan para musafir Arab tentang Asia Tenggara. Kedua sarjana ini menyebutkan bahwa sudah sejak abad ke VII M, pelabuhan-pelabuhan yang terkenal di Asia Tenggara pada masa itu, telah ramai dikunjungi oleh para pedagang dan musafir-musafir Arab. Bahkan pada setiap kota-kota dagang itu telah terdapat fondachi-fondachi atau permukiman-permukiman dari pedagang-pedagang yang beragama Islam. Mohammad Said, salah seorang wartawan dan cendikiawan Indonesia yang berkecimpung dengan penelitiannya tentang kerajaan ini dan kerajaan Aceh, dalam prasarannya yang berjudul “Mentjari Kepastian Tentang Daerah Mula dan Cara Masuknya Agama Islam ke Indonesia, berkesimpulan bahwa istilah PO SE yang populer digunakan pada pertengahan abad ke VIII M seperti terdapat dalam laporan-laporan Cina, adalah identik atau mirip sekali dengan Pase atau Pasai.

Sehubungan dengan asal nama kerajaan Samudera Pasai ini, Hikayat Raja-raja Pasai salah sebuah Historiografi Melayu yang banyak mengandung unsur-unsur Mythe, Legende, Geneologi dan Sejarah di dalamnya , memberi suatu keterangan yang berkaitan dengan totemisme, yaitu disebutkan antara lain:
“…pada suatu hari merah Silu pergi berburu. Maka ada seekor anjing dibawanya akan perburuan Merah Silu itu bernama si Pasai. Maka dilepaskannya anjing itu lalu menjalak di atas tanah tinggi itu. Maka dilihatnya ada seekor semut besarnya seperti kucing maka ditangkapnya oleh erah Silu itu lalu dimakannya. Maka tanah tinggi itupun disuruh Merah Silu tebas pada segala orang yang sertanya itu. Maka setelah itu diperbuatnya akan istananya. Setelah sudah maka Merah Silupun duduklah ia di sana dengan segala hulubalangnya dan segala rakyatnya diam ia di sana maka dinamai oleh Merah Silu negeri Samudera, artinya semut yang amat besar.

Selanjutnya tentang asal nama Pasai, baik Hikayat Melayu maupun Hikayat Raja-raja Pasai menyebutkan sebagai berikut:
“…setelah sudah jadi negeri itu maka anjing perburuan yang bernama si Pasai itupun matilah pada tempat itu. Maka disuruh sultan tanamkan dia di sana juga. Maka dinamai baginda akan nama anjing nama negeri itu”.

Kalau kita berpegang dari keterangan kedua hikayat yang mithologis tersebut, maka nama Samudera berasal dari nama seekor semut besar dan nama Pasai berasal dari nama anjingpiaraan Raja merah Silu, yaitu si Pasai. Hal ini sangat menarik untuk diselidiki lebih lanjut, sejauh mana terdapat hubungan antara totemisme dengan usaha pemberian keterangan tentang asal dan arti kerajaan Islam Samudera Pasai itu. Karena lazimnya untuk nama kerajaan-kerajaan di Nusantara ini sebelum tahun 1500, diambil dari nama pohon, buah-buahan dan lain sebagainya.

Seperti juga disebutkan dalam kedua hikayat tersebut di atas, bahwa raja Samudera Pasai yang pertama sekali menganut agama Islam adalah Malik As Salih. Pada nisan sultan ini yang dibuat dari batu graniet dapat diketahui bahwa ia mangkat pada bulan Ramadhan tahun 696 H, yang diperkirakan bertepatan dengan tahun 1297 M.Tentang bagaimana dan siapa yang mengembangkan agama Islam buat pertama kali di kerajaan ini, Hikayat Raja-raja Pasai antara lain meyebutkan sebagai berikut:
“…pada zaman Nabi Muhammad Rasul Allah salla’llahu ‘alaihi wassalama tatkala lagi hajat hadhrat jang maha mulja itu, maka sabda ia pada sahabat baginda di Mekkah, demikian sabda baginda: “Bahwa ada sepeninggalku itu ada sebuah negeri di atas angin samudera namanja. Apabila ada didengar kabar negeri itu maka kami suruh kamu sebuah kapal membawa perkakas dan kamu bawa ia orang dalam negeri masuk agama Islam serta mengutjapkan dua kalimah sjahadat. Sjahdan lagi akan didjadikan Allah Subhanahu wa ta’ala dalam negeri itu terbanjak daripada segala wali Allah djadi dalam negeri itu”.

Dan tentang pengislaman serta penggantian nama Raja Merah Silu dengan nama yang baru Malikul Salih, hikayat itu juga memberi keterangan:
“Sebermula maka bermimpi Merah Silu dilihatnja dalam mimpinja itu ada seorang-orang menumpang dagunya dengan segala djarinja dan matanja ditutupnja dengan empat djarinja, demikian katanja: “Hai Merah Silu, udjar olehmu dua kalimah Sjahadat”.

Maka sahut Merah Silu “Tiada hamba tahu mengutjap akan dia”.

Maka Udjarnya: “Bukakan mulutmu”. Maka dibukanja mulut Merah Silu, maka diludahinja mulut merah silu itu rasanya lemak manis. Maka udjarnja akan merah silu “Hai Merah Silu engkaulah Sultan Malikul’-Saleh namamu sekarang Islamlah engkau dengan mengutjap dua kalimah itu…”

Hikayat itu juga menyebutkan bahwa orang yang menyebarkan/mengislamkan Sultan Samudera Pasai itu adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad Rasul Allah Salla’llahu’alaihi wasallam, yaitu seorang Syarif berasal dari Mekah yang bernama Syarif Syaih Ismail .

Selain menurut hikayat tersebut, tradisi setempat juga menyebutkan bahwa raja pertama yang memeluk agama Islam di wilayah itu adalah Sultan Malik Al Salih. Tetapi menurut catatan atau suatu sumber yang dimiliki oleh M. Junus Jamil, menyebutkan bahwa pada awal bulan Zulkaidah 610 Hijrah (1213 M), telah meninggal di kerajaan itu (Samudera Pasai) seorang Wazir Sultan Al Kamil yang bernama Maulana Quthubulma’ali Abdurrahman Al Pasi. Kalau sumber ini benar maka keterangan tersebut bermakna bahwa jauh sebelum Malik As Salih sudah terdapat sultan yang memeluk agama Islam di kerajaan itu. Seperti telah disebutkan bahwa raja Samudera Pasai yang pertama berdasarkan sumber sejarah yang konkrit ialah Malik As Salih yang meninggal tahun 1297. Kalau dalam tahun 1297, kita kenal sebagai tahun kematian raja itu, tentunya masyarakat Islam di kerajaan itu telah terdapat jauh sebelumnya. Karena pertumbuhan sesuatu biasanya menghendaki suatu proses, suatu tempo yang lama. Demikian juga dari keterangan yang diberikan Hikayat Raja-raja PasaiI seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa Nabi Muhammad telah menyebutkan nama kerajaan Samudera dan juga agar penduduk kerajaan itu diislamkan oleh salah seorang sahabat beliau, maka bukan tidak mungkin Islam sudah masuk ke kerajaan itu tidak lama sesudah Nabi Muhammad wafat. Jadi pada sekitar abad pertama Hijrah atau bertepatan dengan abad ketujuh/kedelapan tahun Masehi. Dan dapat pula diperkirakan bahwa Islam yang masuk itu langsung datang dari Mekah.

Bukanlah maksud penulis di sini untuk membuat suatu uraian panjang lebar tentang masalah proses masuknya Islam ke Kerajaan Samudera Pasai. Sebagaimana telah penulis singgung pada awal tulisan ini, adalah masih sangat sukar untuk merekonstruksikan sejarah kerajaan-kerajaan di wilayah Indonesia pada periode sebelum tahun 1500, oleh karena bukti sejarah tentang hal itu masih belum memadai. Di sini penulis hanya mencoba merangkaikan suatu gambaran sejarah berdasarkan tulisan-tulisan yang telah ada tentang kerajaan itu. Maka untuk mendapat suatu gambaran historis dari perkembangan Kerajaan Islam Samudera Pasai, berikut ini akan ditinjau beberapa aspek, terutama tentang sistem sosio kulturil yang penulis perkirakan berlaku di kerajan itu.

Seperti diketahui, Samudera Pasai adalah sebuah kerajaan yang bercorak Islam dan sebagai pimpinan tertinggi kerajaan berada di tangan sultan yang biasanya memerintah secara turun temurun. Lazimnya kerajaan-kerajaan pantai atau kerajaan yang berdasarkan pada kehidupan/kejayaan maritim yang termasuk dalam struktur kerajaan tradisionil kerajaan-kerajaan Melayu, seperti kerajaan Islam Samudera Pasai, disamping terdapat seorang sultan sebagai pimpinan kerajaan, terdapat pula beberapa jabatan lain, seperti Menteri Besar (Perdana Menteri atau Orang Kaya Besar), seorang Bendahara, seorang Komandan Militer atau Panglima Angkatan laut yang lebih dikenal dengan gelar Laksamana, seorang Sekretaris Kerajaan, seorang Kepala Mahkamah Agama yang dinamakan Qadi, dan beberapa orang Syahbandar yang mengepalai dan mengawasi pedagang-pedagang asing di kota-kota pelabuhan yang berada di bawah pengaruh kerajaan itu. Biasanya para Syahbandar ini juga menjabat sebagai penghubung antara sultan dan pedagang-pedagang asing.

Sebagaimana lazimnya sebuah kerajaan maritim, Kerajaan Islam Samudera Pasai dapat berkembang karena mempunyai suatu kekuatan angkatan laut yang cukup besar menurut ukuran masa itu dan mutlak diperlukan untuk mengawasi perdagangan di wilayah kekuasaannya. Dan karena sebagai kerajaan maritim, kerajaan ini sedikit sekali mempunyai basis agraris yang hanya diperkirakan berada sekitar sebelah –menyebelah sungai Pasai dan sungai Peusangan saja, dimana terdapat sejumlah kampung-kampung (meunasah-meunasah) yang merupakan unit daripada bentuk masyarakat terkecil di wilayah Samudera Pasai pada waktu itu. Dan selain itu meunasah-meunasah ini merupakan lembaga-lembaga pemerintahan terkecil pula dari Kerajaan Samudera Pasai pada waktu itu.

Pengawasan terhadap perdagangan dan pelayaran di kota-kota pantai yang berada di bawah pengaruh Kerajaan Samudera Pasai merupakan sendi-sendi kerajaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan dan pajak yang besar selain upeti-upeti yang dipersembahkan oleh kerajaan-kerajaan di bawah pengaruhnya. Perdagangan yang menjadi basis hubungan-hubungan yang tetap dengan kerajaan-kerajaan luar seperti dengan Malaka, Cina, India dan sebagainya, telah menjadikan Kerajaan Islam Samudera Pasai sebagai sebuah Kerajaan Islam yang sangat terkenal dan berpengaruh di kawasan Asia Tenggara terutama pada abd ke XIV dan XV. Karena kebesarannya itu, maka Kerajaan Islam Samudera Pasai telah pula dapat mengembangkan penyiaran agama Islam ke wilayah-wilayah lainnya di Nusantara pada waktu itu.

Diantaranya ke Minangkabau, Palembang, Jambi, Patani, Malaka, Jawa dan beberapa kerajaan pantai di sekitarnya. Pada abad ke XIV Kerajaan Islam Samudera Pasai menjadi pusat studi agama Islam dan juga tempat berkumpul ulama-ulama dari berbagai negara Islam untuk berdiskusi tentang masalah-masalah keduniawian dan keagamaan. Berdasarkan berita dari Ibn.Batutah, seorang pengembara asal Maroko yang mengunjungi Samudera Pasai pada tahun 1345/6, kerajaan ini berada pada puncak kejayaannya. Ibn-Batutah berada dikerajaan ini selama dua minggu dan telah melihat banyak tempat ini(kraton Samudera Pasai), mempunyai benteng di sekelilingnya. Dia telah diterima oleh wakil laksamana di Balairung dan telah diberi persalinan menurut adat setempat. Pada hari ketiga di sana Ibn Batutah mendapat kesempatan untuk menghadap sultan yang memerintah pada ketika itu yaitu Sultan Malikul Zahir yang dianggapnya sebagai sultan yang termasyur dan peramah. Selama di Samudera Pasai Ibn Batutah telah berjumpa dengan tiga orang ulama terkenal, yang masing-masing bernama Amir Dawlasa berasal dari Delhi (India), Kadi Amir Said berasal dari Shiraz dan Tajuddin berasal dari Ispahan. Dan disebutkan bahwa sultan Samudera Pasai sangat suka berdiskusi masalah-masalah agama dengan ulama-ulama itu.

Dengan melihat Samudera Pasai sebagai pusat studi dan pertemuan para ulama seperti tersebut di atas dan sesuai dengan yang telah diutarakan oleh Prof.A.Hasjmy, bahwa banyak sekali tokoh dan para ahli dari berbagai disiplin pengetahuan yang datang dari luar seperti dari Persia (bagian dari Daulah Abbasiyah) untuk membantu kerajaan Islam Samudera Pasai, maka dapat dipastikan bahwa sistem dan organisasi pemerintahan di kerajaan itu, tentunya seirama dengan sistem yang dianut oleh pemerintahan daulah Abbasiyah. Dan menurut catatan Ibn Batutah, diantara pejabat tinggi Kerajaan Islam Samudera Pasai yang ikut melepaskan sultan meninggalkan mesjid di hari Jum’at yaitu Al Wuzara (para menteri) dan Ak Kuttab (para sekretaris) dan para pembesar lainnya . Selain itu menurut catatan M.Yunus Jamil, bahwa pejabat-pejabat Kerajaan Islam Samudera Pasai terdiri dari orang-orang alim dan bijaksana. Adapun nama-nama dan jabatan-jabatan mereka adalah sebagai berikut:
1. Seri Kaya Saiyid Ghiyasyuddin, sebagai Perdana Menteri.
2. Saiyid Ali bin Ali Al Makaarani, sebagai Syaikhul Islam.
3. Bawa Kayu Ali Hisamuddin Al Malabari, sebagai Menteri Luar Negeri.

Dari catatan-catatan, nama-nama dan lembaga-lembaga seperti tersebut di atas, Prof.A.Hasjmy berkesimpulan bahwa, sistem pemerintahan dalam Kerajaan Islam Samudera Pasai sudah teratur baik, dan berpola sama dengan sistem pemerintahan Daulah Abbasiyah di bawah Sultan Jalaluddin Daulah (416-435 H).

Untuk lebih mempererat hubungan antar kerajaan-kerajaan yang berada di bawah pengaruh Samudera Pasai ditempuh pula lewat jalan perkawinan. Dapat disebutkan di sini misalnya, perkawinan antara putri-putri dari Kerajaan Perlak dengan sulthan-sulthan Kerajaan Samudera Pasai. Selain itu juga Raja Malaka yang pertama Parameswara setelah memeluk agama Islam telah mempersunting puteri Kerajaan Pasai sebagai isterinya. Dan dengan adanya perkawinan ini telah meningkatkan pula hubungan perdagangan antara Malaka dengan Kerajaan Samudera Pasai. Juga pada masa kejayaan kerajaan ini seorang ulama Pasai yang bernama Fatahillah, telah melakukan dakwah Islam sampai ke Pulau Jawa. Dan setelah mengislamkan Banten serta memperisteri putri dari kerajaan tersebut, kemudian mendirikan suatu kesultanan di sana.

Berdasarkan beberapa mata uang emas yang disebut deureuham, yang berhasil diketemukan sebagai sebagai salah satu peninggalan dari kerajaan itu, menunjukkan bahwa kerajaan Islam Samudera Pasai cukup makmur pada kurun waktu seperti tersebut di atas. Karena sebuah kerajaan yang dapat menerbitkan mata uang emas sendiri pada masa itu, menandakan bahwa kerajaan itu cukup makmur menurut ukuran masa itu. Mata uang emas Kerajaan Samudera Pasai ini telah diperkenalkan pula oleh orang-orang kerajaan itu ke beberapa bandar perdagangan di Nusantara pada waktu itu, diantaranya ke bandar Malaka.

Atas dasar mata uang emas yang pernah diketemukan itu, dapat diketahui pula beberapa nama-nama raja yang pernah memerintah di Kerajaan Islam Samudera Pasai. Menurut T. Ibrahim Alfian yang mendasarkan atas mata uang emas tersebut, urutan-urutan raja yang memerintah di kerajaan tersebut adalah sebagai berikut: sebagai sulthan yang pertama adalah sulthan Malik As Salih yang memerintah pada tahun 1297. Sulthan ini diganti oleh puteranya yang bernama Sulthan Muhammad Malik Az Zahir (1297-1326); sebagai sulthan yang ketiga yaitu sulthan Mahmud Malik Az-Zahir (1326 ± 1345); sulthan yang keempat adalah Mansur Malik Az-Zahir (?- 1346); sulthan yang kelima adalah Sulthan Ahmad Malik Az-Zahir yang memerintah (ca. 1346-1383); sebagai sulthan yang keenam yaitu Sulthan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir yang memerintah (1383-1405); sulthan yang ketujuh yaitu Sultanah Nahrasiyah, yang memerintah (1405-1412); sebagai sulthan yang kedelapan yaitu Sulthan Sallah Ad-Din yang memerintah (ca.1402-?); sulthan yang kesembilan yaitu Abu Zaid Malik Az-Zahir (?-1455); sebagai sulthan yang kesepuluh yaitu Mahmud Malik Az-Zahir, memerintah (ca.1455-ca. 1477); sulthan yang kesebelas yaitu Zain Al-‘Abidin, memerintah (ca.1477-ca.1500); sebagai sulthan yang sebagai kedua belas yaitu Abdullah Malik Az-Zahir, yang memerintah (ca.1501-1513); dan sebagai sulthan yang terakhir dari Kerajaan Islam samudera Pasai adalah Sulthan Zain Al’Abidin, yang memerintah tahun 1513-1524.
Setelah tahun 1524, Kerajaan Islam Samudera Pasai berada di bawah pengaruh kesultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam.

Bendera Aceh - Alam Peudeung

Di Aceh na alam peudeung,
Cap sikureung bak jaroe raja,
Phon di Aceh troh u Pahang,
Tan soe teuntang Iskandar Muda,
Bangsa Portugis angkatan meugah,
Laju geupinah di Aceh raya
U Melaka keudeh di piyoh,
Keunan pih troh geupicrok teuma. 



SAMPAI hari ini, nadham Aceh di atas, masih dinyanyikan masyarakat Aceh, untuk mengambarkan betapa sulitnya penjajah menduduki tanah rencong ini. Namun, awal dari kalimat di atas adalah simbol pemersatu rakyat Aceh yaitu “alam peudeung” yang dimaknai sebagai Bendera Aceh. Sejauh pengetahuan saya, hampir seluruh kerajaan di Indonesia memiliki bandera kebesaran mereka.

Tidak terkecuali bandera Kerajaan Mataram yang sampai hari ini masih dikibarkan di Yogyakarta dan sering dijadikan sebagai simbol kerajaan saat kirab para pembesar kerajaan tersebut. Perihal bandera dalam sejarah Nusantara memang tidak pernah dipermasalahkan, kecuali simbol-simbol tersebut berupaya menghalangi jatidiri bangsa Indonesia yaitu simbol komunis.

Alasan utama saya menampilkan nadham di atas berikut dengan tafsir mengenai bandera di Nusantara karena adanya opini M Nur Juli, di Serambi Indonesia (18/04/2011) dan berita di harian ini pada 17 April 2011, bendera GAM Dikibarkan di Persawahan Pulo Pisang, sehingga ini sedikit menyentil suasana damai yang telah dibangun selama 5 tahun terakhir. Namun, dalam dataran akademik, persoalan bendera Aceh bukanlah hal yang baru. Artikel singkat ini berupaya untuk menelaah lebih lanjut tentang bendera Aceh ini yang dalam sejarah lebih dikenal dengan “alam Aceh.”

M Nur Juli menyebutkan, yang menimbulkan masalah sekarang tampaknya adalah anggapan bahwa bendera bergaris merah, hitam dan putih dihiasi bulan bintang itu sebagai “Bendera GAM”. Ini anggapan keliru. GAM tidak punya bendera sendiri; yang digunakan GAM di masa konflik adalah bendera Aceh, yang telah wujud ratusan tahun.

Bendera itu hampir sama dengan bendera Turki. Dalam hal ini, salah satu kajian yang paling komprehensif adalah karya Anthony Reid (2005) mengenai pengaruh Turki Utsmani, termasuk penggunaan bandera mereka di bumi Serambi Mekkah. GAM lahir pada tanggal 4 Desember 1976, sedangkan sejarah penggunaan bandera tersebut telah dimulai ratusan tahun yang lalu. Dengan kata lain, bandera Aceh adalah warisan sejarah dan identitas wangsa Aceh, serta tidak ada kait mengait dengan GAM.

Marsden pernah mengatakan dalam “The History of Sumatra”, bahwa Aceh adalah satu satunya kerajaan Islam di Nusantara yang pernah meraih kemajuan politik dalam pandangan orang barat. Karena berbagai “transaksi yang ia lakukan telah menjadi pembahasan sejarah. Dengan kekuatan ini, Portugis tidak mampu menancapkan kaki di Aceh dan para sultannya menerima banyak tamu dari pengusasa Eropa” (Amirul Hadi: 2010). Caroline Finkel dalam bukunya “The Story of the Ottoman Empire 1300-1923” mengatakan, “Muslim sultanate of Aceh, when threatened by Portuguese expansionism, sought Ottoman assistance. The Ottoman troops were sent to aid the sultan against the Portuguese in 1537, 1547, 1566 Aceh formally requested the protection of the Ottomans. The Ottomans fleet set out from Suez to aid Aceh, and the Ottomans flag used by the sultanate of Aceh.” (Caroline Finkel: 2005). Inilah hubungan persaudaraan antara Turki dan Aceh yang sampai hari ini masih diinginkan berlanjut, khususnya dalam hubungan pendidikan dan kebudayaan.

Maka tidak heran, bendera resmi kerajaan Aceh adalah dasar merah dengan bulan bintang di tengah sebagai simbol Islam sama seperti Turki dan ini juga menunjukkan bahwa kerajaan Aceh berlandaskan Alquran dan Alhadist. Sedangkan pedang merupakan lambang kedaulatan Aceh dan juga menunjukkan sifat orang Aceh yang tegas dan ditakuti oleh lawan-lawannya. Ada istilah di Aceh hudep saree matee shahid, salah narit peudeung peuteupat, salah seunambat teupeuroe dumna. Penambahan pedang ini sebagai sifat orang Aceh diletakkan di bawah bintang bulan. Jadi kesamaan bendera Turki dengan “alam peudeung” Aceh diakibatkan hubungan Aceh dan Turki begitu harmonis tempo dulu. Hasan Tiro, mengambil bendera ini sebagai bendera Aceh Merdeka dan menambahkan dua garis hitam di tepinya untuk melambangkan para syuhada. Para syuhada ini adalah yang korban dalam peperangan kemerdekaan Aceh melawan Belanda dan Jepang.

Adapun mengenai penggunaan bandera Aceh, Ahtisari sendiri dalam buku “Ahtisari and Aceh” (Katri Merikallio: 2006) mengakui Aceh punya hak untuk menggunakan bendera simbol dan himne sendiri. Dan ini telah dituangkan dalam MoU Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005.

Dalam Undang Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) No 11 tahun 2006 mengenai bendera dinyatakan di dalam pasal 246; (1) Bendera Merah Putih adalah bendera nasional dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (2) Selain Bendera Merah Putih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Aceh dapat menentukan dan menetapkan bendera daerah Aceh sebagai lambang yang mencerminkan keistimewaan dan kekhususan. (3) Bendera daerah Aceh sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bukan merupakan simbol kedaulatan dan tidak diberlakukan sebagai bendera kedaulatan di Aceh. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk bendera sebagai lambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Qanun Aceh yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Ketentuan ini merupakan salah satu bentuk kompromi antara pemerintah Indonesia dan GAM yang melihat pentingnya pengaturan simbol dan identitas baik bagi RI maupun bagi Aceh. Bendera Aceh akan menegaskan identitas kekhususan Aceh yang memang sepatutnya diarahkan menjadi gerakan nasionalisme kultural yang damai dan demokratis dalam rangka pencarian sebuah dukungan menjadi a nation without state. Dengan kibaran dua bendera di Aceh, diharapkan ke depan konflik bendera tidak akan muncul lagi di negeri yang pernah menjadi pengemban amanah daulah islamiayah di Asia tenggara ini bersama Turki Usmani di Eropa dan Asia Tengah, bani fathimiyah di Afrika Utara, Isfahan di Timur Tengah dan Moghul di Asia Selatan.

Pemerintah Aceh dan DPRA perlu segera mengeluarkan aturan tentang simbol dan bendera Aceh sekaligus tentang protokoler pengibarannya sebagaimanhttp://www.blogger.com/img/blank.gifa amanat MoU Helsinki dan pasal 246 ayat 2 Undang-Undang Pemerintahan Aceh No 11 tahun 2006. Hal ini akan memberi dua dampak terhadap hubungan Aceh dengan Indonesia. Pertama, Aceh menghormati simbol Indonesia di Aceh yang direpresentasikan oleh bendera merah putih dan hanya akan menggunakan bendera tersebut sesuai dengan ketentuan hukum RI yang mengaturnya. Kedua, Aceh memiliki kewenangan untuk mengibarkan bendera sendiri sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Aceh. Karena salah satu faktor yang mendasari konflik bendera ini adalah aspek hukum, otoritas, dan etika.

Terakhir, saya mengajak agar semua elemen di Aceh bisa menghormati simbol-simbol ke-Aceh-an dan ke-Indonesia-an. Karena dengan saling menghormati, maka situasi damai bisa dipertahankan.

Penulis : khaidil